- A. Pendahuluan
Pengaruh dominan filsafat Yunani terhadap pemikiran filsafat dalam Islam tidak terbantahkan, bahkan dominasi tersebut diakui oleh para filosof Muslim. Secara diplomasi Alkindi mengatakan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan bekal dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran. Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristoteles dipandang sejalan dengan ajaran Islam seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan alam dan lain-lain. Alkindi dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai penerjemah, pen-syarah dan juga komentator “Yunani”. Ibnu Rusyd memandang Aristoteles sebagai seorang pemikir terbesar yang pernah lahir, ia seorang bijaksana yang memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam syairnya Divine Comedy, Dante mengatakan Ibnu Rusyd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya mengalahkan keterkenalannya dalam pengetahuan lain seperti fisika, kedokteran dan astronomi.
Dominasi pengaruh filsafat Yunani demikian, tak pelak menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang. Karena itu persoalan ini diangkat dalam paper ini dengan tema Pemikiran Ibnu Rusyd.tentang filsafat.
- B. Pembahasan
a. Biografi Singkat Ibu Rusyd
Diantara para filsuf Islam, Ibnu Rusyd adalah salah seorang yang paling dikenal dunia Barat dan Timur. Nama lengkapnya Abu al-Walid Muhammad ibnu Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ahmad ibnu Rusyd, lahir di Cordova, Andalus pada tahun 520 H/ 1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya abu Hamid al-Ghazali. Ia ditulis sebagai satu-satunya filsuf Islam yang tumbuh dan berkembang dalam keluarga yang semuanya menjadi fuqaha’ dan hakim. Ayahnya dan kakeknya menjadi hakim-hakim agung di Andalusia. Ibnu Rusyd sendiri menjabat hakim di Sevilla dan Cordova pada saat terjadi hubungan politik yang penting antara Andalusia dengan Marakasy, pada masa Khalifah al-Manshur. Hal itu mencerminkan kecerdasan otak dan ghirah kepada ilmu pengetahuan dalam keluarga ini sudah tumbuh sejak lama yang kemudian semakin sempurna pada diri ibnu Rusyd. Karena itu, dengan modal dan kondisi ini ia dapat mewarisi sepenunya intelektualitas keluarganya dan menguasai berbagai disiplin ilmu yang ada pada masanya.
Tidak hanya seorang ilmuan terpandang, ia juga ikut ke medan perang melawan Alphonse, raja Argon. Khalifah begitu menghormati Ibnu Rusyd melebihi penghormatannya pada para pejabat daulah al-Muwahhidun dan ulama-ulama yang ada masa itu. Walaupun demikian Ibnu Rusyd tetap menjadi orang yang rendah hati, ia menampilkan diri secara arif selayaknya seorang guru dalam memberi petunjuk dan pengajaran pada umat. Hubungan dekat dengan Khalifah segera berakhir, setelah Khalifah menyingkirkannya dari bahagian kekuasaan di Cordova dan buku-buku karyanya pernah diperintahkan Khalifah untuk dimusnahkan kecuali yang berkaitan dengan ilmu-ilmu murni saja. Ibnu Rusyd mengalami hidup pengasingan di Yasyanah. Tindakan Khalifah ini menurut Nurcholish Madjid, hanya berdasarkan perhitungan politis, dimana suasana tidak kondusif dimanfaatkan oleh para ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam terhadap kedudukan Ibnu Rusyd yang tinggi.
Pengalaman pahit dan tragis yang dialami Ibnu Rusyd adalah seperti pengalaman hidup yang dialami para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Namun kecintaannya kepada ilmu pengetahuan, membaca, menulis dan bermuzakarah tidak pernah surut. Kecintaan pada ilmu pengetahuan membentuk kepribadiannya sebagai seorang inklusif, toleran dan suka memberi maaf. Sifat kepribadian ini menurut al-Aqqad menyebabkan ia (saat menjadi hakim) selalu sulit dalam menjatuhkan eksekusi, dan jika eksekusi harus dilakukan ia serahkan kepada para wakilnya.
Di dunia Barat ia disebut dengan Averroes, menurut Sirajuddin Zar, sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Karena sebutan ini adalah akibat terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Kata Arab Ibnu oleh orang Yahudi diucapkan seperti kata Ibrani Aben, sedangkan dalam standar Latin Rusyd menjadi Rochd. Dengan demikian, nama Ibnu Rusyd menjadi Aben Rochd, maka melalui asimilasi huruf-huruf konsonan dan penambahan sisipan sehingga akhirnya menjadi Averroes. Dari Averroes ini muncul sebuah kelompok pengikut Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat yang menamakan diri Averroisme. Dalam bidang ini, Ibnu Rusyd memang membuktikan diri sangat ahli dan terhormat, penjelasan-penjelasannya tentang filsafat dan komentarnya terhadap filsafat Aristoteles dinilai yang paling tepat dan tidak ada tandingannya. Sebab itu ada yang menamakannya sebagai guru kedua (bukan al-Farabi), setelah guru pertama Sang Filsuf atau Aristoteles.
Itu tidak berarti Ibnu Rusyd tidak memiliki pemikiran filsafat sendiri, dalam penjelasan al-Ahwani, pandangan-pandangan pribadi Ibnu Rusyd yang mencerminkan pandangan dan pahamnya sendiri terdapat dalam rumusan kesimpulan setelah memberikan uraian dan komentas terhadap filsafat Aristoteles. Ulasan dan Kesimpulan-kesimpulan tersebut terkadang lebih panjang dari terjemahannya terhadap pemikiran Aristoteles sendiri.
Hidup terkucil demikian tidaklah lama (1 tahun) dialami Ibnu Rusyd, karena Khalifah segera mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Tidak lama menikmati semua itu, Ibnu Rusyd wafat pada 1198 M/ 595 H di Marakesh dan usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan Hijrah.
b. Pemikiran Ibnu Rusyd Tentang Filsafat
Dalam kitabnya Fash al Maqal , ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran, hikmah, ‘ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaanNya.
Jika kemudian seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar syar’iy maka ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan atau kapasitas yang memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, dan kedua, ketidakmampuan dirinya mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping atau guru yang handal yang bisa membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.
Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mulhid, tidak mempercayai eksistensi Tuhan atau meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas, atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab kemapuan manusia dalam menerima kebenaran dan bertindak dalam mencari pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia dalam memperoleh pengetahuan yakni:
a). Lewat metode Khatabi (retorika)
b) lewat metode Jadali (dialektika)
c) Lewat metode Burhani (demonstratif)
Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi). Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir secara dialektik. Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam melakukan ta’wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan, yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif.
Ta’wil yang dilakukan dengan metode burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik. Sebab jika metode ta’wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya dalah karena tujuan ta’wil itu tak lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara interpretatif. Pernyataan ini merujuk pada Qur’an surat al isra’ : 85 :
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Allah SWT tidak menjelaskan pengertian ruh karena tingkat kecerdasan mereka itu tidak atau belum memadai sehingga dikhawatirkan justru hal itu akan menyusahkan mereka.
Ketiga metode itu telah dipergunakan oleh Tuhan sebagaimana terdapat dalam teks-teks Al Qur’an. Metode itu dikenalkan oleh Allah SWt sedemikian rupa mengingat derajat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia amat beragam, sehingga Allah SWT tidak menawarkan metode pemerolehan pengetahuan dan kebenaran hanya dengan satu macam cara saja.
Satu pendekatan yang diyakini Ibn Rusyd bisa mendamaikan antara bunyi literal teks yang transenden dengan pemikiran spekulatif – rasionalistik manusia adalah kegiatan Ta’wil . Metode ta’wil bisa dikatakan merupakan isu sentral dalam kitab beliau ini . Al Qur’an terkadang berdiam diri tentang suatu obyek pengetahuan. Lantas ulama melakukan Qiyas (syar’iy) untuk menjelaskan kedudukan obyek pemikiran yang maskut ‘anhu tersebut. Demikian pula dengan nalar burhani , ia merupakan metode ta’wil atau qiyas untuk membincangkan persoalan-persoalan maujud yang tidak dibicarakan oleh Al Qur’an.
Qiyas burhani itu digunakan ketika terjadi kontradiksi anatara gagasan Qur’anik dengan konsep rasional-spekulatif pemikiran manusia. Ibn Rusyd beranggapan bahwa teks syar’iy memiliki keterbatasan makna, . Oleh karena itu jika terjadi ta’arudl dengan qiyas burhani, maka harus dilakukan ta’wil atas makna lahiriyyah teks. Ta’wil sendiri didefinisikan sebagai : makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz yang keluar dari konotasinya yang hakiki (riel) kepada konotasi majazi (metaforik) dengan suatu cara yang tidak melanggar tradisi bahasa arab dalam membuat majaz. Misalnya dengan menyebutkan “sesuatu” dengan sebutan “tertentu llainnya” karena adanya faktor kemiripan , menjadi sebab atau akibatnya, menjadi bandingannya atau faktor-faktor lain yang mungkin bisa dikenakan terhadap obyek yang awal.
Ibn Rusyd beranggapan adanya lafaz dhahir (Eksoteris) dalam nash sehingga perlu dita’wil , agar diketahui makan bathinya (Esoteris) yang tersembunyi di dalamnya dengan tujuan menyelaraskan keberagaman kapasitas penalaran manusia dan perbedaan karakter dalam menerima kebenaran . Nash ilahiyyah turun dengan berusaha menyesuaikan bahasa yang paling mudah untuk dimengerti oleh manusia dengan tidak menutup mata terhadap kecenderungan kelompok ulama yang pandai ( al Rasyikhuna fil ‘Ilm ) untuk merenungi makna-makna dibalik lafaz yang tersurat.
Berkaitan dengan penciptaan alam, Rusyd yang menganut Teori Kausalitas (Hukum Sebab-Akibat) berpendapat bahwa memahami alam harus dengan dalil-dalil tertentu agar dapat sampai kepada hakikat dan eksistensi alam. Ada tiga dalil yang menjelaskan teori ini :1. Dalil Inayah yakni dalil yang mengemukakan bahwa alam dan seluruh kijadian di dalamnya, seperti siang dan malam, matahari dan bulan, semuanya menunjukkan adanya penciptaan yang teratur dan rapi yang didasarkan atar ilmu dan kebijaksaan. Dalil ini mendorong orang untuk melakukan penyelidikan dan penggalian yang terus menerus sesuai dengan pandangan akal fikirnya. Dalil ini pun yang akan membawa kepada pengetahuaan yang benar sesuai dengan ketentuan Al-Quran
2. Dalil Ikhtira’ yaitu asumsi yang menunjukkan bahwa penciptaan alam dan makhluk di dalamnya nampak jelas dalam gejala-gejala yang dimiliki makhluk hidup. Semakin tinggi tingkatan makhluk hidup semakin tinggi pula berbagai macam kegiatan dan pekerjaannya. Ini menunjukkan adanya pencipta yang mengatur kehidupan. Dalil ini sesuai dengan syariat Islam, dimana banyak ayat yang menunjukkan perintah untuk memikirkan seluruh kejadian alam ini.
3. Dalil gerak disebut juga dalil penggerak pertama yang diambil dari Aritoteles. Dalil tersebut mengungkapkan bahwa alam semesta bergerak dengan suatu gerakan yang abadi, dan gerakan ini mengandung adanya penggerak pertama yang tidak bergerak dan berbenda yaitu Tuhan.
Ibnu Rusyd pernah berpolemik hebat dengan Al Ghazali. Ketidaksepakatan Al Ghazali terhadap filsafat, hingga sampai mengkafirkan para filsuf yang ia tuangkan dalam bukunya yang berjudul Tahafutul Falasifah (Kerancuan Filsafat). Rusyd pun membalasnya dalam bukunya Tahafutut Tahaafut (Kerancuan dari Kerancuan)
c. Serangan Al Ghazali Kepada Para Filsuf
Dalam bukunya Tahafut al Falasifah Al Ghazali mengatakan bahwa para filsuf telah banyak mengungkapkan argumentasi yang bertentangan dengan Al Qur’an sehingga dia menganggap para filsuf telah mgningkari Al Qur’an dan ia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang kafir.
Adapun hal-hal yang dilanggar oleh para filusuf menurut Al Ghazali ada 20 persoalan yaitu 16 dalam bidang metafisika dan 4 dibidang fisika namun dari 20 hal itu 17 hal digolongkan dalam Ahl al Bida’ dan berkenaan dengan 3 hal lainnya para filusuf dikatakan sebagai orang kafir.
Perincian 20 persoalan diatas adalah sebagai berikut :
1. Alam qadim (tidal bermula)
2. Keabadian (abadiah) alam, masa dan gerak
3. Konsep Tuhan sebagai pencipta alam dan bahwa alam adalah produk ciptaan-Nya; uangkapan ini bersifat metaforis
4. Demonstrasi atau pembuktian eksistensi Penciptaan alam
5. Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu dan tidak mungkin pengandaian dua wajib al wujud
6. Penolakan akan sifat-sifat Tuhan
7. Kemustahilan konsep genus (jins) kepada Tuhan
8. Wujud Tuhan adalah wujud yang sederhana, wujud murni, tanpa kuiditas atau esensi
9. Argumen rasional bahwa Tuhan bukan tubuh (jism)
10. Argumen rasional tentang sebab dan Pencipta alam (hukum alam tak dapat berubah)
11. Pengetahuan Tuhan tentang selain diri-Nya dan Tuhan mengetahui species dan secara universal
12. Pembuktian bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri
13. Tuhan tidak mengetahui perincian segala sesuatu (juziyyat) melainkan secara umum
14. Langit adalah mahluk hidup dan mematuhi Tuhan dengan gerak putarnya
15. Tujuan yang menggerakkan
16. Jiwa-jiwa langit mengetahui partikular-partikular yang bermula
17. Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa-peristiwa
18. Jiwa manusia adalah substansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak terpateri pada tubuh dan bukan tubuh.
19. Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, dan watak keabadiannya membuatnya mustahil bagi kita membayangkan kehancurannya.
20. Penolakan terhadap kebangkitan Jasmani.
Dari 20 persoalan ini ada 3 hal yang dianggap paling membahayakan “kestabilan” umat yaitu :
1. Alam kekal (qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal
2. Tuhan tidak mengetahui perincian atau hal-hal yang partikular
3. Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani
Adapun bantahan Ibn Rusyd terhadap argumen yang dilontarkan oleh Al Ghazali adalah sebagai berikut :
Tentang Alam yang Qadim
Pendapat para filusuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tidak dapat diterima oleh para teolog Islam termasuk Al Ghazali karena mereka percaya bahwa Tuhan adalah pencipta sehingga Ia mengadakan sesuatu dari tiada(creatio ex nihilio). Jika alam tidak bermula maka alam tidak diciptakan sehingga Tuhan bukanlah maha pencipta.
Ibn Rusyd membantah hal ini karena pendapat para filusuf terutama filusuf Islam mengatakan bahwa alam ini diciptakan dari yang ada dahulu, dan yang mungkin terjadi adalah “ada” yang awal berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Dan Ibn Rusyd mengatakan bahwa creatio ex nihilio itu tidak didukung oleh dasar syari’ah, tak ada ayat yang mengatakan bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri dan tidak ada wujud selain dari Tuhan dan kemudian barulah menciptakan alam ini.
Bukti dari Tuhan menciptakan alam ini dari sesatu yang “ada” dapat dibuktikan melalui beberapa ayat diantaranya :
1. Al Qur’an Surat Hud, ayat 7
Yang mengatakan secara garis besar bahwa sebelum ada wujud langit dan bumi telah ada wujud lain, yaitu wujud air yang diatasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan, ditegaskan lagi bahwa langit dan bumi diciptakan setelah ada air, tahta dan masa.
2. Al Qur’an surat Fushilat, ayat 11
Dikatakan bahwa Tuhan menciptakan bumi dalam 2 masa, menghiasi bumi dengan gunung dan diisi dengan berbagai macam makanan, kemudian Tuhan naik ke langit yang masih merupakan uap, sehingga ditakwilkan langit tercipta dari uap.
3. Al Qur’an Surat Al Anbiya’, ayat 30
Dikatakan bahwa bumi dan langit pada mulanya adalah satu unsur yang sama kemudian dipecah menjadi 2 benda yang berlainan.
4. Al Qur’an surat Ibrahim, ayat 47 – 48
Disini menunjukkan bahwa alam ini sifatnya kekal yaitu dikatakan bahwa langit dan bumi akan ditukarkan dengan bumi dan langit yang lain, dan sekaligus membuktikan bahwa alam ini terwujud dan perwujudannya melalui proses yang terus menerus.
Untuk menengahi pendapat bahwa alam ini qadim maka Ibnu Rusyd mengatakan bahwa sebenarnya antara filusuf dan ahli syari’ah telah sepakat bahwa ada tiga macam wujud, yang berkaitan dengan hal ini , yaitu :
1. Wujud Baru atau karena sebab sesuatu, yaitu dari sesuatu yang lain dan karena sesuatu, yakni zat pembuat dan dari benda, ini adalah benda yang kejadiannya bisa terlihat oleh panca indera, seperti terjadinya air, udara, bumi, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.
2. Wujud Qadim atau tanpa sebab sesuatu, yaitu wujud yang bukan dari sesuatu, tidak karena sesuatu, dan tidak didahului oleh zaman, wujud ini dapat diketahui dengan bukti-bukti pikiran, seperti Tuhan.
3. Wujud Antara, yaitu wujud yang terletak di antara kedua wujud ini, wujud yang bukan dari sesuatu dan tidak didahului oleh zaman tetapi wujud karena sesuatu, yaitu zat pembuat, dan wujud itu adalah alam keseluruhannya
Dari keterangan diatas maka dapat dilihat bahwa kejadian alam ada kalanya terjadi dengan adanya hubungan sebab akibat, Al Ghazali mengingkari hal ini, sebaliknya Ibn Rusyd menyetujui adanya hubungan sebab akibat, hal ini ia ambil dari Aristoteles tentang sebab pokok, yaitu :
1. ‘Illah maddiyah (sebab akibat yang berkaitan dengan benda)
2. ‘Illah Shuwariyyah (Sebab akibat yang berkaitan dengan bentuk/form)
3. ‘Illah fa’ilah (sebab akibat yang berkaitan dengan daya guna)
4. ‘Illah gha’iyyah (sebab akibat yang berkaitan dengan tujuan)
Tentang Pengetahuan Tuhan
Menurut para teolog juga Al Ghazali bahwa setiap maujud diciptakan Tuhan karena kehendak-Nya, jadi seluruhnya itu diketahui oleh Tuhan, sebab yang berkehendak haruslah mengetahui yang dikehendaki-Nya. Jadi Tuhan mengetahui segala sesuatu secara rinci.
Ibn Rusyd membantah, dikatakan bahwa tidak pernah ada filsuf yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mengetahui yang rinci, pendapat yang ada adalah bahwa pengetahuan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian itu, karena pengetahuan manusia tentang perincian diperoleh melalui panca indera dan dengan panca indera pulalah pengetahuan manusia tentang sesuatu selalu berubah dan berkembang sesuai dengan penginderaan yang dicernanya. Sedangkan pengetahuan tentang kulliyah diperoleh melalui akal dan sifatnya tidak berhubungan langsung dengan rincian yang materi itu.
Pengetahuan Tuhan, sebaliknya, merupakan sebab yang tidak berubah oleh perubahan yang dialami juziyah. Tuhan tidak mengetahui apa-apa yang terjadi dan sesuatu yang telah terjadi. Pengetahuan Tuhan tidak dibatasi oleh waktu yang telah lampau, sekarang dan akan datang. Pengetahuan-Nya bersifat qadim, yaitu semenjak azali Tuhan mengetahui segala hal yang terjadi di alam, betapun kecilnya . Meskipun demikian pengetahuan Tuhan tidaklah bersifat kulliyah atau juziyyah, sebab kedua sifat ini merupakan kategori manusia, bukan merupakan kategori ilahi dan pengetahun Tuhan tidak dapat diketahui selain oleh Tuhan sendiri.
Tentang Kebangkitan Jasmani
Para filsuf mengatakan bahwa nanti dialam akhirat yang bangkit hanyalah roh saja tidak ada kebangkitan jasmani, dan Al Ghazali membantah hal ini sebab dalam Al Qur’an sendiri dikatakan bahwa manusia akan mengalami pelbagai kenikmatan jasmani di dalam surga atau kesengsaraan jasmani di dalam neraka.
Ibn Rusyd mengatakan bahwa para filusuf tidak membantah adanya keangkitan jasmani, karena hampir semua agama samawi mengakui adanya kebangkitan jasmani, namun dari sesuatu yang telah hancur itu tidak mungkin bisa dibentuk kembali, maka kalau pun ada kebangkitan jasmani tentunya dalam bentuk lain, tidak dalam bentuk manusia sekarang ini.
Di akhirat nanti semua yang terdapat disana tidaklah seperti apa yang kita lihat dan alami di dunia ini, semua tidak pernah terpikirkan oleh manusia, sehingga kehidupan diakhirat nanti tidak akan sama dengan kehidupan di dunia saat ini. Dan alam Akhirat ini hanyalah suatu fase lanjutan dari jalur kehidupan manusia, dan tentunya tidaklah berlebihan apabila nanti dalam kebangkitannya tidak terjadi kebangkitan jasmani atau paling tidak jasmani yang bangkit adalah jasmani dalam bentuk yang berbeda.
Ibn Rusyd juga mengkritik Al Ghazali sebab di salah satu karyanya dikatakan bahwa khusus bagi kaum sufi tidak ada kebangkitan jasmani mereka hanya mengenal kebangkitan rohani saja, disini terlihat adanya ketidak konsistenan Al Ghazali dalam konsep kebangkitan jasmani.
d. Karya-karya Ibn Rusyd
1. Kitâb Fash al-Maqâl fî Mâ Bain al-Syarî`ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl (Kaitan Filsafat dengan Syariat) yang isinya menguraikan adanya keselarasan antara agama dan akal karena keduanya adalah pemberian Tuhan.
2. Al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah fî `Aqâid al-Millah (Menyingkap Berbagai Metode Argumentasi Ideologi Agama-agama) yang menjelasakan secara terinci masalah-masalah akidah yang dibahas oleh para filsuf dan teolog Islam.
3. Tahâfut al-Tahâfut (Kerancauan dalam Kitab Kerancauan karya al-Ghazâlî) yang kandungan isinya membela kaum filsuf dari tuduhan kafir sebagaimana dilontarkan al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah (Kerancauan Filsafat-filsafat kaum Filosof).
4. Bidâyah al-Mujtahid (permulaan bagi Mujtahid). Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya diuraikan pendapat Ibn Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat imam-imam mazhab.
C. Penutup
Menurut Ibn Rusyd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, syara’ menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada. Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah anjuran.
Tetapi karena kegiatan mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hasyr: 2; al-A’raf: 185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi perintah tertulis untuk wajib dan pelakunya adalah terhormat.
Ibn Rusyd dengan bahasanya membela para filsuf dari serangan argumentasi Al Ghazali atas vonis pengkafiran yang dijatuhkan kepada mereka, yaitu :
1. Alam ini memang Qadim, terbukti dengan ayat-ayat Tuhan yang termaktub dalam Al Qur’an, dan tidak satupun dari ayat tersebut yang mengatakan alam ini diciptakan dari ketiadaan.
2. Pengetahuan Tuhan dan Manusia memang berbeda jadi ketidaktahuan Tuhan yang disangkakan oleh Al Ghazali ternyata ada kesalahan penafsiran tentang pengetahuan Tuhan dan Manusia.
3. Kebangkitan Jasmani memang perlu dikumandangkan terutama bagi orang awam yang tujuannya adalah untuk membangkitkan semangat mereka beribadah, sedangkan bagi kelompok yang khusus, seperti kaum sufi dan para filsuf, boleh ditakwilkan bahwa nanti tidak ada kebangkitan jasmani yang ada hanya roh.
Referensi
Abbas Mahmud al-Aqqad, “Ibnu Rusyd (filsuf, mistikus, fakih dan dokter)”, Qirtas, Yogya, 2003
Dominiqueburvoy, “Perjalanan intelektual Ibnu Rusyd (averroes)”, risalah gusti, Surabaya, 2000
Departemen Agama, “Ensiklopedi Islam”, Anda Utama, Jakarta, 1992
Arif Wibowo, “Ibn Rusyd Membela Orang Kafir”, diunduh 1 Juni 2011
Abatasya Islamic Website, “Ibnu Rusyd”, diunduh 31 Mei 2011
lutfita’s Site, “Ibnu Rusyd”, diunduh 31 Mei 2011